iklan

My Cerpen


.: CITA DUA BUNGA :.
Oleh : Tarto

Pak Narto merapatkan gerobaknya di samping rumah. Dengan gerobak itulah, ia mencari nafkah sehari-hari sebagai penjual bakso keliling. Keuntungan yang didapat sebenarnya memang tidak begitu banyak, tapi cukup untuk menghidupi dirinya dan dua putri kembarnya Nela dan Nely. Selain cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, juga cukup untuk membiayai mereka berdua yang sudah duduk di bangku kelas 3 SMA.
“Bagaimana ujiannya tadi? Lancar kan?” tanya Pak Narto sembari mengemasi peralatan berjualannya. Siang tadi, memang hari terakhir ujian sekolah bagi kedua anaknya.
“Alhamdulillah, lancar. Ayah, setelah lulus nanti, Nely ingin kuliah kedokteran. Bagaimana menurut Ayah?”
“Bagus itu!” jawab Pak Narto singkat. Pak Narto lau bergabung dengn kedua anaknya yang dari tadi keliahatan ‘khusuk’ melihat televisi.
“Tapi biaya kuliah kedokteran tidak murah lho, Yah!” Nela sang kakak ikut menimpali.
“Biaya kuliah adalah tanggungjawab Ayah, kalian tidak perlu memikirkannya. insyaAllah akan selalu ada jalan keluar jika kita mau berusaha.” Pak Narto mencoba memberi semangat bagi Nela dan Nely agar jangan terlalu memikirkan biaya kuliah mereka.
“Kalau Nela, sudah menentukan ingin masuk jurusan apa saat kuliah nanti?”
“Ehm ... Nela belum bisa memutuskan apakah Nela mau melanjutkan kuliah atau tidak.”
“Ya sudah kalau begitu. Sudah hampir jam 5, sebaiknya kalian bergegas mandi”
“Nely duluan.....” tanpa dikomando lagi, Nely langsung ngacir ke kamar mandi. Pak Narto hanya tersenyum melihat tingkah si bungsu.
Nely adalah adik Nela. Mereka adalah saudara kembar, sebab kelahiran mereka hanya terpaut dalam hitungan menit. Sebagai seorang kakak, Nela bisa lebih bersikap dewasa daripada adiknya Nely. Sedangkan Nely memang masih agak kekanak-kanakan.
“Nela, memangnya Nela benar-benar belum ada rencana kuliah?”
Pak Narto memang sudah paham dengan sifat kedua putrinya tersebut. Nela memang tipe anak yang kadang tertutup. Ia suka menyembunyikan perasaan ataupun keinginannya.
“Sebenarnya ... sebenarnya Nela juga ingin kuliah, tapi ... .”
“Tapi apa Nak?”
“Tapi apa nanti tidak memberatkan Ayah? Jika seandainya nanti Nely benar-benar kuliah di kedokteran, pasti biayanya mahal. Ditambah jika Nela juga ikut kuliah, pasti biaya untuk kuliah akan bertambah banyak lagi. Nela takut jika akan memberatkan Ayah.”
Nela menjelaskan penyebab kegalauan hatinya.
“Tenang saja Nak. Insya Allah jika kita mau berusah, maka Allah pasti akan memberikan jalan keluar atas permasalahan hambaNya. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan biaya kuliah, biar Ayah yang memikirkan” Pak Narto mencoba menenangkan kegundahan hati buah hatinya.
“Ayah ingin masa depan kalian lebih baik lagi. Tidak seperti Ayah yang hanya menjadi penjual bakso keliling. Nah, itu adikmu sudah selesai mandi. Sekarang kamu mandi dulu sana!”
Nela beranjak dari duduknya. Pak Narto menghela nafas. Ia sebenarnya sudah paham bahwa biaya kuliah tidaklah sedikit. Apalagi jika Nely benar-benar masuk kedokteran, pasti biayanya mencapai jutaan. Bagi dirinya yang hanya bekerja sebagai penjual bakso keliling, hal tersebut memang agak memberatkan. Tapi kecintaannya sebagai seorang ayah mengalahkan rasa khawatirnya. Apalagi ia adalah orangtua tunggal bagi kedua putrinya tersebut. Sebab ibu dari kedua anaknya tersebut memang sudah meninggal sejak Nela dan Nely masih SD.
***
  Nela dan Nely masuk ke warung internet (warnet) yang ada di pinggir jalan. Beberapa minggu yang lalu, mereka mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Mereka ingin melihat pengumuman penerimaan tersebut melalui internet.
“Kak Nela, nama Nely ada! Alhamdulillah Nely diterima!”
Nely tampak begitu senang melihat namanya tercantum di pengumuman hasil seleksi penerimaan mahasiswa baru. Ia diterima di jurusan kedokteran UGM.
“Sekarang kita cari nama Kak Nela. Nah, ini dia! Kak Nela juga diterima di Pendidikan Ekonomi UNS.”
Dengan perasaan yang riang mereka beranjak meninggalkan warnet. Tapi perlahan perasaan senang Nela berubah menjadi perasaan resah. Masih terngiang dalam benaknya besarnya uang registrasi yang harus disiapkan saat daftar ulang nanti. Jelas terlihat di monitor komputer tadi totalnya uang yang harus disiapkan untuk registrasi mereka berdua hampir mencapai 10 juta.
Sorenya, Sela dan Sely memberi tahu ayah mereka tentang pengumuman penerimaan siswa baru yang mereka lihat tadi siang. Mereka juga menyampaikan besarnya biaya registrasi yang harus dibayarkan saat daftar ulang nantinya.
***
Nela tampak resah. Ia belum mampu memejamkan matanya. Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Waktu daftar ulang tinggal satu minggu lagi. Ia resah bagaimana mungkin dalam satu minggu ayahnya bisa mendapatkan uang sebanyak itu untuk daftar ulang dirinya dan Nely. Samar-samar ia masih mendengar suara tv yang masih menyala. Tampaknya sang ayah masih menonton tv.
“Ayah ...”
“Eh, belum tidur Nak? Ada apa?”
Nela menyusul Pak Narto yang sedari tadi menonton tv di ruang tengah.
“Ehm... begini Yah, jika memang Ayah kesulitan mencari biaya untuk daftar ulang kami, sebaiknya jangan dipaksakan. Nela tidak ingin membebani ayah. Nanti biar Nela yang membujuk Nely agar mau mengurungkan niat kuliahnya juga.”
Dengan sedikit ragu, Nela mengungkapkan kegalauan di hatinya. Matanya tampak berkaca-kaca menahan sebak di dadanya.
“Tenang saja nak, Ayah akan berusaha mencarikan biaya tersebut.”
“Tapi Yah, uang 10 juta tidaklah sedikit! Darimana...darimana...ayah akan mendapatkan uang sebanyak itu?”
Tangisan Nela pecah. Pak Narto mendekap anaknya tersebut untuk mencoba menenangkannya.
“Besok sepulang berjualan, Ayah akan mencoba menemui pamanmu yang ada di Ngadirojo. Siapa tahu dia bisa membantu.”
Pak Narto sebenarnya punya 4 saudara: 1 kakak dan 3 adik. Tapi salah satu adik Pak Narto meninggal akibat kecelakaan saat Pak Narto baru berumur 15 tahun. Semua saudara Pak Narto berdomisili di Wonogiri, termasuk Pak Narto sendiri. Sang kakak tinggal di Kecamatan Purwantoro, dan kedua adiknya tinggal di daerah Kecamatan Ngadirojo. Pak Narto sendiri tinggal di Kecamatan Selogiri.
Dari keempat bersaudara, mungkin hanya Pak Narto saja yang secara profesi kurang beruntung. Sang kakak berprofesi sebagai PNS di lingkungan Pemkab. Dan kedua adiknya berprofesi sebagai peternak ayam potong yang tergolong sukses.
***
“Enggak! Pokoknya Nely tetap ingin kuliah!”
“Kamu tahu tidak sih? Kakak kan sudah bilang, darimana Ayah akan mendapatlan uang sebanyak itu untuk kuliah kita!”
Suara sang kakak meninggi. Tampaknya kedua anak kembar tersebut sedang bertengkar hebat. Nela, sang kakak menginginkan agar mereka berdua untuk sementara mengurungkan niat untuk kuliah tahun ini. Tapi tampaknya ‘ide’ sang kakak ditolak mentah-mentah oleh sang adik. Nely tetap menginginkan tahun ini juga kuliah.
“Kak Nela saja yang menunda kuliah! Pokoknya Nely ingin tetap kuliah tahun ini, titik!”
Di luar, Pak Narto yang baru pulang dari berjualan hanya menghela nafas mendengar pertengkaran kedua buah hatinya. Nela dan Nely tampaknya tidak sadar jika ‘peperangan’ mereka diketahui sang ayah.
Tanpa sepengetahuan kedua anaknya tersebut, Pak Narto langsung bergegas pergi lagi. Ia menuju ke jalan raya yang tidak jauh dari rumahnya. Tak berselang lama, ia naik sebuah bus. Pak Narto berencana ke rumah salah seorang adiknya. Siapa tahu adiknya bisa meminjami uang untuk biaya kuliah kedua anaknya tersebut.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul 8 malam. Di ruang tengah, tampak Nela dan Nely hanya mondar-mandir gelisah. Biasanya sang Ayah pulang jualan jam 4 sore, tetapi sampai jam 8 malam belum pulang juga. Padahal, gerobak yang biasanya digunakan untuk berjualan sudah ada di damping rumah.
Tok! Tok! Tok!
Pintu rumah diketuk. Ah, itu pasti Ayah, pikir Nela dan Nely. Tanpa dikomando lagi, Nely membukakan pintu. Tampak di depan pintu dua orang berseragam polisi.
“A...ada apa ya Pak?”
“Maaf Dik, apa benar ini rumah Pak Narto?” tanya salah seorang polisi.
“Betul Pak, tapi beliau belum pulang. Kami anaknya.”
Nela menyusul sang adik yang sedang membukakan pintu depan.
“Nely, tamunya diajak masuk dong. Mari Pak, silakan masuk!”
Setelah masuk, kedua polisi tersebut menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Kami ke sini bukan bermaksud untuk mencari ayah kalian. Kami bermaksud menyampaikan kabar mengenai ayah kalian.” Salah seorang polisi mencoba membuka pembiacaraan.
“Ayah kami Pak? Ada apa dengan Ayah kami?”
“Begini, tadi sore telah terjadi kecelakanaan dengan ayah kalian. Ayah kalian tertabrak sepeda motor saat menyeberang jalan raya tadi sore. Dan ...”. Suara polisi tersebut terhenti. Seakan beban berat menyumbat suara polisi tersebut.
“Dan apa Pak...?” Sela dan Sely mulai bertambah gelisah setelah.
“Dan ayah kalian meninggal akibat kecelakaan tersebut.”
***
Sore itu, tampak awan mendung menggelayuti langit di Kota Wonogiri. Tak berselang lama rintik-rintik hujan turun. Satu persatu orang-orang mulai meninggalkan makam. Hanya tersisa dua insan yang tampak masih menunggui makam orang yang baru saja dikebumikan.
“Maafkan...maafkan Nely, Kak. Seharusnya Nely tidak memaksakan keinginan untuk kuliah. Akibatnya, kita tidak hanya kehilangan kesempatan untuk kuliah, tetapi juga kehilangan ayah.”
Nela hanya menghela nafas menanggapi penyesalan adiknya. Ia masih berusaha meredam kepedihannya akibat kehilangan seorang ayah.
Kini, cita-cita mereka untuk sementara pupus. Jangankan  untuk kuliah, mulai besok mereka harus memikirkan untuk mencari kebutuhan hidup sendiri. Ternyata Nela dan Nely justru merasakan betapa pentingnya kehadiran ayah mereka saat ayahnya sudah tiada.  Perjalanan hidup masih membentang di hadapan mereka. Mau tidak mau mau, mereka harus tetap melanjutkan hidup untuk kembali menyusun asa demi meraih cita yang sempat terhenti.

Wonogiri, Oktober 2011